RagamUtama

Nusantara Itu Indonesia Tanpa Mengenal Sukuisme

"Karakter dan budaya seseorang tidak hanya ditentukan lokasi geografis tempat tinggal. Setiap individu memiliki keunikan dan pengalaman yang berbeda yang juga memengaruhi karakter mereka"

Klik Today || Indonesia merupakan negara multi etnis, dan hal ini sudah menjadi satu diantara kekayaan khasanah bangsa yang dikenal memiliki keberagaman suku. Gelora membara jelas terasa hingga menusuk denyut nadi seluruh warga negara Indonesia, yang sama-sama memiliki semangat mewujudkan dan menciptakan rasa persatuan diantara suku yang ada di Indonesia.

Meskipun untuk merajut sebuah mata rantai yang panjang, butuh sebuah perjuangan dan kemauan besar bak gelombang besar di tengah samudera. Para pendiri dan tokoh negara ini memiliki sebuah harapan besar bahwasannya Indonesia menjadi sebuah negara besar dari lahirnya sebuah tonggak keberagaman etnis.

Namun, kekokohan pilar multi etnis yang selalu didengungkan para tokoh bijak untuk mewujudkan rasa persatuan di Indonesia , perlahan terkikis dengan derasnya hempasan angin peradaban jaman. Kini sering muncul kerikil-kerikil yang menusuk telapak kaki saat menyusuri jalan panjang itu.

Baca Juga : Program I Care I Share Astra Financial di GIIAS 2024: Ajak Pengunjung Dukung Pendidikan Indonesia

Tatkala dipermukaan kita mengenal sebuah semboyan nasional yakni Bhineka Tunggal Ika. Dimana ini merupakan semboyan nasional Indonesia, yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu (Dalam perbedaan, tetap ada persatuan). Bhineka Tunggal Ika merupakan suatu hal yang dapat mencerminkan Indonesia.

Akan tetapi dikehidupan sehari-hari, semboyan itu seakan hanya sebatas sebuah semboyan belaka yang mungkin bagi sebagian pribadi sudah tak perlu diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Atau mungkin lebih ironisnya lagi, semboyan itu hanya perlu dikenang saat berada di bangku sekolah.

Bagi sejumlah pribadi yang dirinya mengaku sebagai kaum intelektual, berpendidikan, agamis dan menjunjung adab orang timur, semboyan dalam perbedaan tetap ada persatuan hanya seonggok sampah yang tak bisa terurai.

Sebuah bahasa cibiran yang dibalut dalam sehelai selimut gurauan buat salah satu suku sering kali dipertontonkan dengan seronok bin vulgar. Mereka seakan bangga melontarkan sebuah pertanyaan atau pernyataan untuk mengerucutkan dengan tajam kelompok atau suku yang dimaksud.

Baca Juga : Rayakan Hari Anak Nasional, MR.DIY Ajak Ibu dan Anak Belajar dan Bermain Bersama

Sebuah perilaku, gaya bahasa medok yang tidak biasa didengar dalam kelompoknya seakan dengan mudah dijadikan sebuah komunikasi dialogis yang menurut mereka intelek ? Lantas, apakah ini yang dinamakan sebuah negara yang menjunjung persatuan dalam multi etnis, menghargai sebuah perbedaan atau justru mereka sedang bangga mempertontonkan paham sukuisme.

Sukuisme adalah paham yang mengagung-agungkan suku bangsa sendiri dan tidak menghargai suku bangsa lain. Padahal menurut sensus Biro Pusat Statistik tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air.

Sementara untuk mempertahankan keutuhan negara salah satunya dengan menjaga persatuan atas segala perbedaan yang ada. Termasuk menghindari sikap sukuisme. Selain sukuisme ada pula sikap chauvinisme, primordialisme, dan ekstremisme.

Bila mengutip dari wikipedia, nusantara adalah sebuah istilah yang berasal dari perkataan dalam bahasa Kawi (sebuah bentuk bahasa Jawa Kuno yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta yaitu nusa (pulau) dan antara (luar).

Di Indonesia, istilah Nusantara secara spesifik merujuk kepada Indonesia, Malaysia Timur, Brunei, dan Timor Timur (kepulauan Indonesia). Kata ini tercatat pertama kali dalam kitab Negarakertagama untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit; yang kawasannya mencakup sebagian besar Asia Tenggara, terutama pada wilayah kepulauan.

Baca Juga : Kompetisi Debat Bahasa Korea Kembali Digelar untuk Mahasiswa se-Indonesia

Konsep mengenai Nusantara sebagai sebuah daerah yang dipersatukan pada awalnya bukan berasal dari Gajah Mada, melainkan oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari⁠—disebut juga Singasari atau Singosari⁠—dalam Prasasti Mula Malurung yang diterbitkan oleh Kertanegara pada tahun 1255 atas perintah ayahnya, Wisnuwardhana (berkuasa pada tahun 1248–1268), selaku raja Singhasari.

Selain itu, pada 1275, istilah Cakravala Mandala Dvipantara digunakan oleh Kertanegara untuk menggambarkan aspirasi mengenai Kepulauan Asia Tenggara yang bersatu di bawah kekuasaan Singhasari dan ditandai sebagai permulaan atas usahanya dalam mewujudkan aspirasi tersebut.

Dvipantara merupakan sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta yang berarti “pulau-pulau yang berada di tengah-tengah, sebagai sinonim terhadap kata Nusantara karena baik dvipa maupun nusa sama-sama berarti pulau”.

Kertanegara membuat visi tentang penyatuan pemerintahan dan kerajaan maritim di Asia Tenggara sebagai pertahanan dalam menghadapi kebangkitan dari ekspansionis Dinasti Yuan dari China⁠—atau Tiongkok⁠—yang dipimpin oleh orang Mongol atau Kekaisaran Mongol di bawah kaisar Kubilai Khan.

Baca Juga : Jelang Pilkada Serentak 2024 Polresta Cirebon Gelar Cooling System Silaturahmi Dai Kamtibmas

Merujuk dari definisi nusantara, sudah sepatutnya kita saling memahami bahwasannya tidak bisa dipungkuri di kehidupan sehari-hari akan muncul asimilasi nilai-nilai dan budaya yang dianut suku yang ada di Indonesia.

Meskipun kita memahami ada sebuah perbedaan perilaku yang dipengaruhi lingkungan dan gaya hidup yang itu dapat juga mempengaruhi nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu.

Orang pegunungan misalnya sering kali memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan yang sederhana, keberlanjutan, dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan lingkungan.

Sedangkan orang pesisir dapat memiliki hubungan yang kuat dengan laut, menghargai keindahan alam, dan memiliki budaya yang terkait dengan tradisi maritim.

Namun, perlu diingat bahwa karakter dan budaya seseorang tidak hanya ditentukan lokasi geografis tempat tinggal. Setiap individu memiliki keunikan dan pengalaman yang berbeda yang juga memengaruhi karakter mereka.

Oleh

Marthin Reinhard