Menjadi Muslim Menjadi Indonesia (Jilid 3) : Islam Mampu Menjadi Agama Rakyat
"Melalui ajaran iqro’, pengetahuan dan literasi dalam Islam adalah milik semua muslim"
Klik Today || Diketahui, masa Majapahit dan kerajaan di Jawa mencatat perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup mengesankan, khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum.
Beberapa karya intelektual yang lahir pada zaman kerajaan Hindu-Buddha antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Islam hadir memberi warna pada peradaban Nusantara yang sudah adiluhung dan berada pada puncak-puncak kebudayaan. Bukan sekedar proses adopsi atau adaptasi budaya, tetapi kreasi dan introduksi budaya baru.
Salah satu yang menonjol adalah literasi. Anthony H. Johns (profesor emeritus di Division of Pacific and Asian History of the Research School of Asian and Pacific Studies at the Australian National University) menyebut kreasi itu sebagai proses pembahasalokalan (vernakularisasi) keilmuan Islam yang mulai dikenalkan pada akhir abad ke-15 namun intensif pada abad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara.
Selain penggunaan aksara Pegon, banyak kata serapan dari bahasa Arab yang telah ditransformasikan dalam bahasa lokal. Di samping itu banyak karya sastra yang lahir di tangan ulama Melayu terinspirasi oleh model-model karya sastra Arab (dan Persia).
“Ijtihad kebudayaan” menciptakan aksara Pegon ini ditengarai menjadi penghubung yang penting antara “dunia raja/bangsawan” dan rakyat.
Tradisi pendidikan yang berkembang sebelumnya, pengetahuan itu “elitis”, milik para bangsawan (kaum brahmana, mpu, atau bhiksu), tidak merembes ke wong alit alias rakyat. Ilmu hanya berkutat di lingkaran keraton dan mandala.
Melalui ajaran iqro’, pengetahuan dan literasi dalam Islam adalah milik semua muslim. Lembaga pendidikan dapat diakses oleh siapapun tanpa ada kelas atau kasta. Praktik nyata di Nusantara, santri (dari kata sashtri, murid di suatu padepokan/mandala) dari manapun latar belakangnya bisa mengaji dengan kitab-kitab standar yang diajarkan kyai di pesantren.
Di sini pesantren bertransformasi menjadi semacam landasan demokrasi pendidikan atau pendidikan universal (education for all).
Seluruh pranata yang disebutkan di atas bekerja sangat efektif dan menjadi faktor pendorong terjadinya integrasi yang kelak dinamakan bangsa Indonesia. Hanya dalam masa tiga atau empat abad penyebarannya di Nusantara, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia.
Suatu hal yang mencengangkan, sejak abad ke-16M praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam; agama yang relatif baru dan jauh (peripheral) dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam (Haramain, Mekkah-Madinah).
Sampai titik ini, pertanyaan berlanjut ke ihwal yang lebih subtil, yakni dalam hal islamisasi di Nusantara, pengaruh yang paling dominan itu pada aspek apa.
Esensi ajarannya kah atau peran aparatus kekuasaan? Lalu bagaimana dengan akulturasi budaya yang dinyana sebagai aspek penting menjadikan Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar di dunia.
Budhi Munawar-rahman, pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS) dan seorang Indonesian progressive Islamic scholar, memberi deskripsi teoritik begini. Sejak kehadirannya di Nusantara, Islam telah memberi dasar-dasar pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (weltanschaung) beserta nilai-nilainya yang universal pada banyak kebudayaan lokal.
Budaya-budaya lokal yang dirembesi ajaran Islam ini lantas berkembang maju dan mampu menghasilkan tradisi baca tulis, yang pada gilirannya melahirkan intelektualisasi signifikan dalam proses “islamisasi yang tak pernah selesai”.
“Kepada budaya-budaya daerah yang saling terkait dan memengaruhi satu dengan yang lain itu”, lanjut Budhi,
“Islam memberikan dasar-dasar egalitarianisme, rasionalitas, aktivisme, kesalehan sosial, etos dagang, dan tradisi intelektual. Tanpa itu transformasi budaya tidak akan terjadi, sebab berkembangnya kebudayaan mengandaikan adanya suasana komunikatif yang terbuka dan pemikiran-pemikiran yang harus saling dikomunikasikan. Islam memberikan semua itu kepada mayoritas etnik-etnik di kepulauan Nusantara”.
Argumen Budhi masuk akal dan bisa dikonfirmasi dengan data faktual. Seperti uraian sebelumnya, esensi ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal itu dalam aplikasinya di level budaya Nusantara mengalami penyesuaian (adjusment), continuity and change, dan yang tak kalah pentingnya menjadi landasan bagi terbentuknya pelembagaan Islam yang lebih solid.
Dalam pelembagaan politik misalnya, keraton/kerajaan atau kesultanan bukan saja menjadi pusat kekuasaan politik, pada saat yang sama menjadi poros keilmuan yang penting dalam penyemaian Islam yang lebih subur.
Cerita-cerita tentang sultan yang terdidik (well educated) menunjukkan bahwa di bawah otoritas kekuasaan, ilmu dan lembaga pendidikan serta tradisi keilmuan Islam mendapatkan lahan penyemaian subur.
Sultan Agung yang bergelar Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Kalifatullah ing Tanah Jawa contoh tipikal gabungan seorang negarawan dan budayawan yang saleh dan terdidik.
Selain berjasa dalam mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka, Sultan Agung adalah penulis naskah Jawa Sastra Gending.
Di zamannya, kerajaan Mataram maju pesat. Peninggalan bangunan masjid dengan atap meru dan seni kaligrafi tulisan Arab, juga ritual sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. (bersambung)
Penulis :
Mastuki HS
(Kapus Registrasi Sertifikasi Halal, BPJPH, Kemenag)
Sumber : Kemenag RI