RagamUtama

Menjadi Muslim Menjadi Indonesia (Jilid 2) : Dialektika Islam dan Budaya Nusantara

"Pranata keagamaan berkembang beriringan dengan pranata sosial-budaya dan politik"

Penyebar Islam di Nusantara tidak hanya didominasi oleh pedagang, tetapi juga ulama/wali, sufi pengembara (faqir), raja-raja pribumi (sultan), pemimpin tarekat, seniman, sastrawan-budayawan, tabib, guru, dai, pengarang, dan lain-lain.

Klik Today || Ada pandangan pakar dan peneliti Indonesia yang menyatakan, Nusantara menjadi bangsa muslim karena nilai-nilai yang diajarkan Islam lebih cocok dan sesuai dengan pandangan hidup yang berlaku di mayoritas masyarakat lokal.

Etos dagang misalnya, tauhid, egalitarianisme (kesamaan hak dan kesetaraan), toleransi, dan moderasi.

Etos dagang sejatinya telah tumbuh dan berkembang di kepulauan Nusantara, lalu mengalami penyesuaian beriringan dengan proses islamisasi yang berbasis pada pusat-pusat perdagangan di pelabuhan Nusantara.

Penyebaran Islam yang dimulai dari wilayah pesisiran lalu menyebar merata ke berbagai pusat perdagangan Nusantara saat itu seperti Pasai, Aceh, Malaka, Palembang, Tuban, Gresik-Surabaya, Caruban/Cirebon, Gowa Makassar, Buton, Banten, dan Sunda Kalapa.

Banyak laporan penelitian yang menyebutkan tradisi dagang menjadi ciri khas masyarakat muslim pesisiran yang menjadi locus penting penyebaran Islam di Nusantara.

Teori yang menyebut bahwa pedagang asing dari mancanegara seperti India, Gujarat, Persia, Arab dan Cina sebagai penyebar Islam awal di Nusantara menunjukkan korelasi positif antara etos dagang dan nilai Islam (yang memuliakan kedudukan pedagang dan perdagangan).

Interaksi yang intensif para pedagang muslim dengan masyarakat lokal itu pada saatnya memunculkan apa yang oleh Nur Syam (2015) disebut “budaya adaptif” yang menjadi ciri khas masyarakat muslim pesisiran.

Etos dagang dan egalitarianisme antarpenduduk maupun pendatang terjalin sedemikian rupa berkelindan lama sekali dan menjadi cikal bakal komunitas muslim dengan nilai baru yang berorientasi pada Islam.

Penyebar Islam di Nusantara tidak hanya didominasi oleh pedagang, tetapi juga ulama/wali, sufi pengembara (faqir), raja-raja pribumi (sultan), pemimpin tarekat, seniman, sastrawan-budayawan, tabib, guru, dai, pengarang, dan lain-lain.

Dalam jangka waktu yang lama, mereka memainkan peranan dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara.

Makanya pranata keagamaan berkembang beriringan dengan pranata sosial-budaya dan politik.

Hampir semua keraton memiliki peran islamisasi yang luar biasa dengan aktor utama sultan dan ulama (sebagai qadhi, penasehat, mufti).

Ordo sufi yakni tarekat seperti Qadiriyah, Naqsabandiyah, Tijaniyah, Awlawiyah, Khalwatiyah, Rifaiyah, Syattariyah, Syadziliyah, Rifa’iyyah, dan Idrisiyah berkembang pesat di Nusantara.

Syekh-mursyid atau khalifah-suluk yang memimpin tarekat ini memiliki jejaring dengan pemimpin tarekat besar di Timur Tengah dan silsilah-nya sampai pada Rasulullah SAW.

Peran krusial tarekat pada masa pergolakan melawan Belanda banyak dibahas para peneliti dan menginspirasi banyak gerakan perlawanan rakyat terhadap penjajah (Belanda).

Lembaga pendidikan dengan nama-nama unik sesuai daerah juga bermunculan bak kecambah di musim hujan.

Pesantren (Jawa), surau (Minangkabau), meunasah, dayah, rangkang (Aceh), zawiyah (Jambi, Riau), tajug (Cirebon), langgar (Jawa, juga dipakai di Makasar), rumah besak (Banjar), dan nama sejenis.

Penulisan kitab oleh ulama Melayu mencapai tingkat yang tinggi di berbagai bidang keilmuan seperti tasawuf, fikih, tafsir, hadits, lughah, falaq/astronomi, tarikh (babad), dan siyasah (ilmu pemerintahan).

Pada abad 17-19 jaringan ulama Melayu-Nusantara dengan pusat Islam terkemuka Mekah, kemudian Mesir, berjalan sangat intens.

Jejaring ini memunculkan poros keulamaan dan poros keilmuan (pusat-pusat keilmuan yang berbasis di atau mengikuti kemunculan kota-kota baru di seluruh Nusantara).

Penggunaan aksara Arab dengan bahasa Melayu yang disebut aksara Jawi atau Arab Pegon menjadi inspirasi munculnya karya-karya sastra dan seni seperti syair, pantun, hikayat, prosa, puisi, gurindam, gending, tembang, arsitektur, seni pentas/wayang, seni musik, kaligrafi, astrologi, pengobatan (primbon), dan sebagainya.

Karya-karya tersebut dalam banyak hal merupakan tradisi baru yang tak berpreseden sama sekali.

Alias genuine lahir dari dialektika Islam dan budaya Nusantara. Ada juga yang mengikuti tradisi penulisan ulama Islam yang telah berkembang di kekhilafahan Islam (Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah, Safawiyah).

Namun pengaruh tradisi tulis-menulis yang berkembang di Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan lain di Nusantara juga tak bisa dielakkan.

Seperti kita ketahui, masa Majapahit dan kerajaan di Jawa mencatat perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup mengesankan, khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. (bersambung)

Penulis :

Mastuki HS

(Kapus Registrasi Sertifikasi Halal, BPJPH, Kemenag)

Sumber : Kemenag RI