Kemerdekaan Indonesia Bukan dari Hasil Mengemis
"Sebagai bangsa pekerja keras, sejarah telah memberikan gambaran nyata, bahwa sejak dahulu kala, bangsa Indonesia pantang meminta secara cuma-cuma kepada bangsa lain"

Klik Today || Merdeka !!! Dirgahayu ke 79 Republik Indonesia. Tatkala pekik merdeka ini kali pertama dikumandangkan para pendiri republik ini pada 79 tahun silam dan euforia masyarakat Indonesia merayakan HUT setiap tahunnya, sanubari dalam jiwa seakan bergetar kencang bak diterpa sebuah gelombang besar.
Namun, kebanggaan itu tiba-tiba lunglai tak berdaya bagaikan setangkai bunga yang mekar di tengah sinar matahari dari sang pencipta. Perasaan itu berkecamuk tatkala melihat segelintir kelompok atau pribadi merayakan HUT ke 79 RI dengan ‘mengemis’ di pinggir jalan.
Mereka membentangkan sejumlah lembaran kertas warna putih dengan dibubuhi sejumlah kalimat sebagai penanda kegiatan. Tulisan tersebut diletakkan di median sebuah jalan poros kabupaten, bertuliskan HUT ke 79 RI.
Ada dua orang gadis yang masing-masing berdiri di dua sisi saling berjauhan sambil berjoget-joget dan membawa sebuah wadah mirip kaleng bekas. Suara musik dari speaker yang terletak dari pinggir jalan, sayup-sayup terdengar lantunan musik yang sesaat kemudian bila pengendara kendaraan melintas ke titik suara, bisa dipastikan itu bukan lagu-lagu perjuangan yang biasa diperdengarkan di berbagai kegiatan Agustusan.
Mereka terkesan tak memperdulikan keselamatan mereka dengan berdiri di median jalan. Padahal berbagai jenis dan ukuran kendaraan melintasi ruas jalan tersebut. Mereka terus berjoget dan meminta para pengendara yang melintas untuk sudi melemparkan pundi-pundi sosial dalam kegiatan yang mengatasnamakan HUT ke 79 RI.
Bahkan kegiatan untuk meminta sumbangan dana juga dibalut dengan berbagai cara termasuk mengamen atau menjual air mineral kemasan di jalanan. Adanya kegiatan tersebut dikhawatirkan mengganggu kenyamanan masyarakat lainnya. Terlebih, jika meminta dengan cara memaksa.
Baca Juga : Wamentan Dorong Swasembada Pangan, Kejar Target Presiden
Yang dikhawatirkan lagi mereka meminta dengan cara kriminal seperti memaksa dengan senjata tajam atau mabuk-mabukan, itu akan membuat resah. Padahal yang namanya sumbangan sifatnya sukarela.
Miris, bila melihat fenomena ini dimana para generasi penerus mengisi kemerdekaan dengan kegiatan yang mungkin tak patut ditauladani. Padahal para pejuang bertaruh nyawa untuk membawa negara ini menuju pintu gerbang kemerdekaan yang sejati.
Pada dasarnya, meminta sumbangan harus dengan izin pejabat berwenang. Meminta sumbangan untuk pembangunan masjid contohnya, yakni untuk amal peribadatan yang dilakukan khusus di tempat-tempat ibadat, merupakan pengumpulan sumbangan yang dibolehkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan dan tidak memerlukan izin penyelenggaraan.
Lalu bagaimana dengan meminta sumbangan di jalan? Di daerah-daerah tertentu meminta sumbangan merupakan hal yang dilarang. Sebagai contoh di Jakarta, meminta sumbangan seperti ini merupakan perbuatan yang dilarang.
Baca Juga : Nusantara Itu Indonesia Tanpa Mengenal Sukuisme
Hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yaitu pemerintah daerah Jakarta melarang setiap orang atau badan dilarang meminta bantuan atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah dan kantor.
Dalam sebuah keterangan lain disebutkan kegiatan meminta sumbangan tidak boleh dilakukan di jalan raya karena berisiko menyebabkan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Bahkan, ada ancaman hukum yang bisa dikenakan kepada warga yang dengan sengaja meminta sumbangan di jalan raya. Ancaman hukuman berupa kurangan penjara dan denda puluhan juta rupiah. Gangguan terhadap Fungsi Jalan ada dalam Pasal 214, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Pidana penjara paling lama satu tahun dan denda Rp24 juta.
Mulai sekarang, yuk kita bersama-sama meningkatkan kesadaran pada diri sendiri bahwasannya kemerdekaan yang diraih bangsa dan negara Indonesia, bukan hasil pemberian dan belas kasihan dari bangsa dan negara lain, akan tetapi merupakan anugerah dan rahmat dari Yang Maha Kuasa, serta buah dari perjuangan bangsa Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Baca Juga : Program I Care I Share Astra Financial di GIIAS 2024: Ajak Pengunjung Dukung Pendidikan Indonesia
Segenap bangsa Indonesia, ingin menyatakan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia, adalah bangsa yang berketuhanan dan pekerja keras. Sebagai bangsa yang berketuhanan atau yang bertauhid, senantiasa menyerahkan segenap aspek kehidupannya, hanya kepada Yang Maha Kuasa semata. Berkaitan dengan hal tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah negara yang senantiasa menghadirkan Tuhan sebagai landasan spiritual, dalam seluruh aspek penyelenggaraan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahannya.
Sementara sebagai bangsa pekerja keras, sejarah telah memberikan gambaran nyata, bahwa sejak dahulu kala, bangsa Indonesia pantang meminta secara cuma-cuma kepada bangsa lain. Dan hal ini telah ditunjukkan oleh para pahlawan bangsa melalui perjuangannya, yang tanpa kenal lelah dan tanpa putus asa selama ratusan tahun.
Oleh karenanya, budaya instan, abai terhadap proses, kerja asal-asalan dan selalu menerabas aturan, yang gejalanya sudah tampak pada bangsa Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai dan jati diri bangsa Indonesia, yang sudah dibangun secara susah payah oleh para pendahulu bangsa Indonesia.
Oleh
Marthin Reinhard