Ragam

Boikot Produk Makanan Israel, Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perspektif Darurat

Hafidz Syarif Rusli, Pengamat Hukum dan Akademisi.

Klik Today || Segala bentuk kemudharatan hukumnya haram di dalam Syariat Islam yang agung ini.

Seseorang tidaklah dibenarkan menimbulkan kerusakan atau menyebabkan marabahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain, baik terhadap jiwa, harta maupun kehormatannya.

Asumsi adalah anggapan yang belum terbukti kebenarannya dan memerlukan pembuktian secara langsung.

Dalam suatu penetapan hukum jangan berasumsi ketika belum ada data secara nyata de jure terbukti, hal ini akan menimbulkan syubhat dalam menetapkan fatwa haram dan halal, dan akan menimbulkan keadaan bahaya yang lain dari kemaslahatan umat.

Tujuan pembuktian adalah : Untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu tentang fakta-fakta atas nama penilaian tersebut harus didasarkan.

Dalam Islam untuk metode atau cara penetapan hukum (turuqut al-istinabath) dalam wacana hukum Islam merupakan kerangkan dasar yang paling penting untuk memengaruhi dan menghasilkan produk hukum yang dihasilkan.

Dalam metodologi hukum Islam, ada tiga pendekatan penetapan hukum yang digunakan, yaitu pendekatan bayaniy, ta’liliy (qiyasi), dan istishlahiy.

Perbedaan pandangan dalam menetapkan dan menghasilkan suatu produk hukum tidak terlepas dari metode pendekatan apa yang digunakan.

Perbedaan itu berangkat dari spirit bahwa ikhtilaf ummatiy rahmah (perbedaan adalah Rahmat).

KH. Ali Yafie mengadopsi pandangan maslahatnya al-Gazali dan alSyatibi. Menurut mereka kepentingan umum (maslahat al-‘ammah) harus dijadikan pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan hukum.

Pendekatan maslahat apapun yang digunanakan, tampaknya semua sepakat bahwa tujuan Allah menetapkan syariat tiada lain untuk mewujudkan maslahat dan tercapainya kesejahteraan hamba di dunia maupun di akhirat.

Seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupan yang muncul kepermukaan.

Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan terknorat dan feodal.

Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial- politik, semua itu memerlukan jawaban yang mapan.Islam sebagai Agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utama “rahmatan lil alamin”.

Darurat sebagaimana maslahat, mempunyai pengaruh dalam perubahan status hukum karena keduanya memang mempunyai kaitan yang sangat erat.

Hukum-hukum itu dapat diketahui baik dari nash al-Quran atau dari Sunnah. Kedua acuan ini dijadikan sebagai dua sumber orisinil hukum Islam.

Mengenai makanan, Islam mengatur secara tegas dan jelas mengenai halal dan haramnya. Namun, jika ada makanan yang masih diragukan halal atau haramnya maka hal itu disebut dengan syubhat.

Syubhat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan sebagai keragu-raguan atau kurang jelasnya tentang halal atau haramnya sesuatu.

Sementara, menurut buku Hukum Pidana Islam tulisan M. Nurul Irfan, syubhat didefinisikan sebagai kemiripan, persamaan, keserupaan, dan ketidakjelasan segala sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak diketahui secara pasti apakah dihalalkan atau diharamkan.

Syubhat adalah perkara yang tidak jelas halal atau haramnya. Dalam konteks lain bisa dikatakan sebagai abu-abu. Dan jika ditemui sesuatu yang abu-abu maka sebaiknya dihindari sebelum ada dalil atau kejelasannya, sikap menjauhi ini sering disebut sebagai wara’ atau kehati-hatian.

Rasulullah SAW dalam sebuah hadits mengingatkan agar umat Islam menjauhi perkara yang syubhat. Orang yang menjauhi syubhat ini kemudian dianggap sudah memelihara agama dan kehormatannya.
مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
Artinya: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun, di antara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.” (HR Bukhari).

Menurut Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam dalam Syajarat al-Maarif yang dilansir dari laman MUI, ada contoh-contoh sesuatu yang disebut dengan syubhat.

Misalnya, gandum dan domba yang halal dapat menjadi haram karena adanya sebab-sebab yang rusak, seperti karena barang itu merupakan hasil rampasan.

Namun, jika keduanya diambil dengan sebab yang diperselisihkan, maka keduanya menjadi syubhat, karena sebabnya bukan dari sifatnya.

Kedua, contoh yang haram secara jelas adalah bangkai dan darah. Keduanya tidak bisa menjadi halal, tanpa ada sebab-sebab tertentu.

Namun, jika keduanya berada dalam perselisihan pendapat, maka tingkatan meninggalkan bangkai adalah sesuai dengan tingkatan dalilnya, dalam hal kuat dan lemahnya.

Mustafa al-Zahqa’ kita ambil contoh saja tentang dharurat definisinya:
“Sesuatu yang berakibat bahaya, jika dilanggar sebagaimana halnya dalam keadaan yang terpaksa dan ketika khawatir akan kebinasaan kerena kelaparan.”
Firman Allah dalam Q. S. al-Nahl/16: 115:
Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sejumlah makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi yakni berupa bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang saat disembelih disebut nama selain Allah.

Dalam konteks ini ada suatu kaidah Ushul fiqh mengatakan “Segala bentuk kemudharatan hukumnya haram di dalam Syariat Islam yang agung ini. Seseorang tidaklah dibenarkan menimbulkan kerusakan atau menyebabkan mara bahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain, baik terhadap jiwa, harta maupun kehormatannya.

Persoalan sekarang kenapa produk makanan yang diproduksi atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina.

Dikutip dari nu.or.id, Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Fariz Alnizar menjelaskan soal pengaruh Fatwa MUI kepada masyarakat. Ia menilai, penerjemahan fatwa terkait pemboikotan produk lebih pada rekomendasi dalam diktum fatwa.

Jadi, kalau bunyi fatwanya sebetulnya adalah mendukung agresi Israel terhadap Palestina, baik langsung maupun tidak langsung itu hukumnya haram,” ujar Fariz kepada NU Online.

Menurutnya, fatwa tersebut lebih bersifat rekomendasi, namun memberikan penekanan bahwa mendukung agresi Israel, baik langsung maupun tidak langsung, dianggap hukumnya haram.

Perlu diketahui bahwa fatwa sendiri bersifat legal opinion, yang artinya merupakan opini terhadap sebuah peristiwa. Adaapun fatwa tidak bersifat mengikat terhadap masyarakat.

Sifatnya Legal opinion maka siapa yang ikut juga silakan, siapa yang tidak ikut juga silakan. Yang tidak setuju dengan fatwa ini juga bisa mencari alternatif fatwa lain yang mungkin dirasa lebih cocok bagi orang yang meminta fatwa. (*)

Penulis : Hafidz Syarif Rusli
Pengamat Hukum dan Akademisi
Ponorogo, Jatim