RagamUtama

Menjadi Muslim Menjadi Indonesia (Habis) : Pencapaian Peradaban Islam Melayu-Nusantara

"Wali Songo tak menolak budaya Jawa, tapi mengisinya dengan nilai dan ajaran Islam, di Melayu sama"

Klik Today || Karakteristik Islam di Jawa bisa jadi mewakili pendekatan kultural yang lebih kentara ketimbang pendekatan kekuasaan atau struktural. Sekali lagi bukan dalam pengertian demarkatif tapi berhimpitan.

Contoh yang banyak dirujuk adalah peran krusial yang dimainkan Wali Songo dalam proses islamisasi Jawa.

Berhadapan dengan masyarakat Jawa yang kenyal secara budaya dan kental dengan mistisisme, pengaruh agama Jawa dan kekuasaan politik Hindu dan Buddha, pendekatan soft-power dan people to people communication lebih ampuh ketimbang perang.

Hasilnya yang khas adalah akulturasi atau asimilasi budaya –atau mungkin integrasi budaya—Jawa dan Islam yang sampai saat ini masih berlangsung.

Namun demikian, pendekatan kekuasaan bukan ditinggalkan sama sekali. Sultan Agung Mataram menggunakan dua pendekatan itu secara apik.

Contoh lain Sunan Giri. Beliau raja (susuhunan, Sunan, pandhita ratu) sekaligus ulama (wali). Dari kedhaton-nya di bukit Giri (Gresik), Sunan Giri mengajar tasawuf dan ilmu-ilmu agama dengan menggunakan medium tembang-tembang dolanan anak atau seni pertunjukan wayang.

Pada saat yang sama wali yang bernama Raden Paku ini mengadakan ekspansi kekuasaan sampai ke Banjar dan Kutai Bornoe, Sumbawa, Bima, Gowa bahkan sampai Maluku.

Sutan Ageng Tirtayasa Banten alias Pangeran Surya, bergelar Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah sedikit berbeda menerapkan perluasan kekuasaan Islam.

Sultan yang dikenal pandai strategi perang ini mempercayakan pengajaran agama kepada Syekh Yusuf al-Makasari yang menjadi mufti kerajaan sekaligus penasehat spiritualnya.

Sedikit ada kemiripan, ketika kerajaan Demak berkuasa, Raden Fatah melakukan konsolidasi Islam dengan kekuasaan, namun pendekatan kultural ada di tangan Dewan Wali Songo.

Akan tetapi ketika Sultan Trenggona naik tahta, Islam disebarkan dengan pedang. Pasukan Demak melibatkan “pasukan berjubah” yang sangat militan (cikal bakal militerisasi sipil).

Pendekatan ini berhasil meluaskan Islam, tapi mendapat tentangan internal dari para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Kenapa Sunan Kalijaga memakai simbol pakaian hitam-hitam adalah sebagai simbol ‘protes’ terhadap keadaan atau silent opposition terhadap kebijakan Trenggono.

Jika ada perbedaan pendekatan islamisasi antara Jawa dan luar Jawa, menurut analisis Azyumardi Azra, lebih karena karakter budaya yang berbeda.

Jawa terkenal kenyal atau elastis secara kultural, tak mudah menerima kultur baru. Tapi pada saat kultur luar itu menyatu dengan kultur asli Jawa, akan lebih tahan (adaptatif).

Sumatera berbeda sedikit. Kasus islamisasi di Aceh, Palembang, Indragiri Riau, Medan, dan Minangkabau menampakkan kesamaan budaya, meski tak seratus persen.

Aceh memiliki kultur budaya kosmopolit (salah satu ciri islamisasi Melayu adalah memperkenalkan watak kosmopolitanisme Islam ini).

Di tangan Kesultanan Aceh Darussalam berabad-abad, kedudukan sultan dan ulama sama-sama signifikan.

Kebijakan pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur politik dan nilai Islam. Adagium “Raja Adil Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah” dan “Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah” contoh penerapan ajaran Islam dalam konteks kekuasaan dan adat.

Kitab Bustanus Salatin yang dikarang Syekh Nuruddin Ar-Raniri berisi nilai Islam dan etika pemerintahan.

Hal yang sama di Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Kudus, juga Sunan Giri memperkenalkan etika politik yang dibungkus nilai Islam, terutama dari tasawuf.

Islamisasi di Sumatera juga disebarkan melalui sastra, sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Melayu.

Hamzah Fansuri memperkenalkan syair ke dalam dunia Melayu, bahkan sebagai pioner kesusasteraan Melayu.

Syamsudin Sumatrani, muridnya, menjadikan pantun sebagai medium menyampaikan pesan-pesan Islam ke tengah masyarakat Melayu.

Isinya tentang ajaran tasawuf yang sulit, tetapi divernakularisasi dengan sangat baik melalui bahasa Melayu. Lalu ada prosa, gurindam12, hikayat, dan lain-lain.

Di Jawa tak ada pantun, tapi muncul gending, tembang, seni pertunjukan (wayang). Semua itu dijadikan medium oleh Wali (di Melayu tak dikenal istilah Wali tetapi Syekh) untuk meluaskan Islam sesuai pandangan dunia masyarakat lokal.

Wali Songo tak menolak budaya Jawa, tapi mengisinya dengan nilai dan ajaran Islam, di Melayu sama.

Hikayat, syair, prosa, dan pantun ditulis dengan huruf Arab yang dimelayukan (Pegon) lalu diajarkan ke masyarakat luas.

Semua orang bisa mempelajari ilmu-ilmu yang awalnya sulit difahami dalam bahasa aslinya (Arab) melalui lisan dan tulisan.

Bukankah ini mirip dengan adaptasi pesantren atas naskah-naskah Arab yang kemudian diajarkan dengan metode utawi-iku dan berbahasa Jawa-Arab (huruf Jawi)?

Demikianlah, Nusantara berproses menjadi bangsa muslim melalui etape yang panjang dan jalan berliku, hingga hari ini.

Capaian peradaban Islam Melayu-Nusantara yang begitu besar itu tak salah kalau disetarakan dengan peradaban dunia Islam lain seperti Islam Arab, Islam Persia, dan Islam Turki.

Bagaimana tidak, dengan hasil pelembagaan pranata sosial yang massif, tradisi keilmuan yang tinggi, poros keulamaan yang mendunia dengan karya-karya ilmiah terbaik, ditambah geografi yang luas, dan demografi mencapai ratusan juta.

Wajar kalau saat ini pemeluk Islam di wilayah ini terbesar di seluruh dunia. Dan Indonesia (poros utama Nusantara) menjadi bangsa muslim terbesar di dunia (the biggest moslem country in the world). (selesai)

Penulis :

Mastuki HS

(Kapus Registrasi Sertifikasi Halal, BPJPH, Kemenag)

Sumber : Kemenag RI