Menjadi Muslim Menjadi Indonesia (Jilid 4) : Pusat Studi Islam Nusantara
"Pemberontakan Petani Banten tahun 1833 yang fenomenal itu digerakkan oleh para haji yang pulang dari studi di Mekkah"

Klik Today || Kerajaan Islam pertama, Samudera Pasai pernah menjadi pusat studi Islam di Nusantara. Kabarnya Makhdum Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Bonang dan Raden Paku alias Sunan Giri pernah menuntut ilmu kepada Maulana Ishak di Malaka dalam perjalanan haji ke tanah suci.
Setelah menyelesaikan pendidikan, mereka kembali ke Jawa untuk mengembangkan ilmu dengan mendirikan lembaga pendidikan. Sunan Giri menjadi raja di Gresik, sementara Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan.
Gubahan sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil adalah karya Sunan Bonang yang terkenal. Di samping karya sastra yang disematkan ke Sunan Bonang, yang oleh antropolog Belanda B.J.O Schrieke disebut Het Boek van Bonang.
Di kerajaan Malaka, perpustakaan tersedia di dalam istana dan berfungsi sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahan kitab bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian kerajaan terhadap pendidikan Islam tinggi, banyak ulama mancanegara datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama Arab.
Sementara di Palembang, istana juga berfungsi sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual dan keilmuan Islam, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804).
Menurut catatan Martin van Bruinessen, pada abad ke-17 Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang pertama kali pada 1596 dan menyaksikan orang-orang Banten memiliki guru-guru dari Mekkah.
Pemberontakan Petani Banten tahun 1833 yang fenomenal itu digerakkan oleh para haji yang pulang dari studi di Mekkah.
Penguasa Aceh Darussalam Sultan Iskandar Muda mendirikan Masjid Raya Baiturrahman dan mengundang Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani sebagai penasihat Sultan, lalu menjadi Qadhi al-Qudhat. Syekh Yusuf al-Makassari dari Kesultanan Gowa Sulawesi Selatan menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah kemudian menjadi penasehat utama Sultan Ageng Tirtayasa Banten.
Melalui pengajaran Abdur Rauf as-Singkili muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al-Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat.
Sengaja menyebut peran krusial keraton dan raja (sultan) karena capaian peradaban Melayu-Nusantara dapat diukur dari sini. Tesis “Islam Istana” tak sepenuhnya salah. Bahwa tahap awal Islam diterima oleh raja, setelah itu rakyat secara resmi memeluk agama Islam.
Sebagai contoh islamisasi di Sulawesi Selatan, Raja Tallo sekaligus mangkubumi Kerajaan Gowa, I Malingkang Daeng Manyonri’, memeluk Islam dan mendapat nama Islam, yaitu Sultan Abdullah Awwalul Islam. Pada saat yang sama, Raja Gowa ke-14, I Manga’rangi Daeng Manrabia, juga memeluk Islam, bergelar Sultan Alauddin.
Menurut Ahmad M. Sewang dalam bukunya Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII (2005), Raja Gowa dan Raja Tallo mengundang tiga guru agama dari Koto Tengah, Minangkabau yang berada di Aceh, untuk mengajarkan Islam di Sulawesi Selatan.
Mereka dikenal sebagai Dato’ Tallu di Makassar atau Datu’ Tellu di Bugis, yaitu Dato’ri Bandang (Abdullah Makmur alias Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu).
Setelah memastikan pengajaran Islam berlangsung lancar, Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit pada 9 November 1607 di hadapan jemaah salat Jumat bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan. Islam menjadi agama kerajaan dan dekrit ini diikuti dengan pengislaman masyarakat Gowa.
Keraton memang bukan satu-satunya center islamisasi, meskipun penting. Dengan kata lain, proses islamisasi di Nusantara tak bisa dijelaskan dengan pendekatan tunggal, misalnya pendekatan kekuasaan (struktural atau top-down approach).
Dalam banyak kasus, peran lembaga non-keraton (non-negara) atau bisa disebut pendekatan kultural lebih dominan dalam proses islamisasi yang butuh banyak aktor, institusi, dan piranti sosial. (bersambung)
Penulis :
Mastuki HS
(Kapus Registrasi Sertifikasi Halal, BPJPH, Kemenag)
Sumber : Kemenag RI



