RagamUtama

Opini: Kegelisahan Guru dalam Menerapkan Kedisiplinan Terhadap Siswanya

Oleh: Batama Ardiansyah

Kekisruhan di SMA 1 Cimarga, Lebak Banten hendaknya jadi pembelajaran bahwa dunia pendidikan ternyata masih perlu dibenahi, terutama terkait sejauh mana kewenangan seorang guru dalam mendidik siswanya.

Kepala sekolah dan guru kini merasa bingung harus seperti apa menerapkan kedisiplinan kepada siswanya yang melanggar aturan sekolah. Pasalnya, tidak jarang orangtua malah tidak terima jika anaknya kena marah atau sanksi dari pihak sekolah ketika ia melanggar tata tertib sekolah.

Tunjuk contoh di SMAN 1 Cimarga, Lebak Banten belakangan ini. Seorang siswa ketahuan sedang merokok di sekolah. Lalu, oleh kepala sekolah ditegur dan ditampar. Siswa tersebut ngadu ke orangtuanya dan kemudian orangtuanya lapor ke polisi.

Lalu, keesokan harinya selama dua hari seluruh siswa di sekolah tersebut mogok belajar atasnama solidaritas.

Mirisnya lagi kepala sekolah yang bernama Ibu Dini Fitri tersebut malah dinonaktifkan oleh Gubernur Banten.

Kasus ini menyedot perhatian publik. Bahkan, viral di sosmed. Ribuan netizen mengomentari setiap viti di TikTok, menyampaikan dukungannya terhadap kepala sekolah yang dinilai sikap kepala sekolah tersebut bukanlah kekerasan tapi ketegasan dalam menerapkan kedisiplinan terhadap siswa yang melanggar peraturan.

Netizen juga menyesalkan sikap orangtua yang melaporkan kepala sekolah ke polisi. Bahkan, tak tanggung-tanggung merasa kecewa juga dengan sikap gubernur yang menonaktifkan kepala sekolah itu.

Banyak hal yang disampaikan netizen, termasuk soal kenapa siswa tersebut merokok di sekolah yang kemudian seolah tidak dipermasalahkan. Sedangkan sikap tegas kepala sekolah yang memarahi siswa tersebut malah dipersoalkan?

Namun, kasus itu kini sudah berakhir damai. Meski kehebohan di sosmed terus berlanjut, umumnya netizen menyampaikan dukungan terhadap kepala sekolah yang bernama Dini Fitri tersebut.

Netizen menyesalkan sikap orangtua siswa yang melaporkan kepsek tersebut ke polisi hanya karena anaknya ditampar karena ketahuan merokok di sekolah. Padahal, jelas dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 menegaskan bahwa sekolah adalah Kawasan Tanpa Rokok. Kepala sekolah bahkan diberi kewenangan untuk menegur atau memberikan tindakan pembinaan bagi siapa pun yang melanggar, baik siswa, guru, maupun tenaga kependidikan.

Kemudian hadir Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan 17/2023. Di sana disebutkan bahwa penjualan rokok dalam radius tertentu dari sekolah dilarang, begitu pula penjualan eceran per batang. Kebijakan ini sebenarnya dirancang untuk menutup akses anak-anak terhadap rokok. Tetapi, sebagaimana banyak regulasi lain di negeri ini, implementasinya sering kali mandek di lapangan.

Dengan demikian aturannya jelas bahwa baik siswa maupun guru dilarang merokok di sekolah dan kepala sekolah atau guru berhak memberi teguran kepada siswa yang merokok tersebut.

Perkara orangtua tidak terima anaknya kena gampar karena merokok lalu lapor ke polisi, barangkali itu hanya sebatas pemahaman. Seharusnya orangtua tersebut berdialog dengan kepala sekolah, mempertanyakan kenapa anaknya digampar. Kepala sekolah tentu saja menerangkan kronologis dan penyebabnya siswa tersebut digampar.

Artinya, orangtua seharusnya tidak main lapor ke polisi. Gubernur pun seharusnya tidak terburu-buru menjatuhkan sanksi dengan menonaktifkan kepala sekolah, sehingga terkesan kepala sekolah lah yang bersalah sepenuhnya.

Kasus di SMAN 1 Cimarga kini sudah mereda, meski komentar netizen masih berseliweran di sosmed, dianaranya di TikTok. Pihak orangtua siswa dan kepala sekolah sudah berdamai. Bahkan, mereka sudah dipertemukan oleh gubernur Baten di ruangan kerjanya untuk saling memaafkan, dengan harapan menyudahi kekisruhan kasus tersebut dan menghentikan viralnya di sosmed.

Pak gubernur pun sudah mencabut penonaktifan kepala sekolah tersebut dan kini sudah kembali bertugas seperti semula.

Pertanyaannya kemudian, harus seperti apa cara guru mendidik siswanya agar kasus serupa tidak terulang lagi. Jangan-jangan para guru sekarang jadi takut untuk bersikap tegas karena takut dilaporkan dan diviralkan, sehingga tidak berani lagi menegur siswa jika melakukan pelanggaran termasuk saat ketahuan merokok di sekolah?

Guru berada dipersimpangan, antara tugas mengajar dan mendidik dengan fenomena yang ada sekarang di kalangan publik atau orangtua siswa. Nampaknya hal ini perlu dievaluasi kembali, baik di dalam lembaga pendidikan atau di kalangan orangtuasiswa.

Sekolah tak hanya tempat mengajar untuk memberi ilmu pengetahuan, tapi juga sarana pengajaran untuk menanamkan budi pekerti, ahlak dan moral bagi generasi muda.

Sedangkan orangtua selayaknya memberi kepercayaan penuh kepada pihak sekolah untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang baik bermasa depan cerah.

Tak dipungkiri memang masih banyak kasus-kasus yang terjadi di sekolah, entah itu kesalahan yang dilakukan pihak sekolah maupun siswa dan orangtua siswa. Hal ini fenomena yang harus terus dievaluasi. Tingkat komunikasi antara pihak sekolah dan orangtua siswa tampaknya harus terus ditingkatkan, sehingga tidak menimbulkan kesalahfahaman.***(Penulis adalah pemerhati dunia pendidikan)