PendidikanUtama

SPMB 2025 : Janji Pemangkasan Birokrasi yang Terganjal di Gerbang Sekolah

Klik Today || Setiap tahun ajaran baru tiba, ironi dunia pendidikan kembali berulang. Orang tua sibuk antre, bingung mengurus dokumen, dan dipaksa berkutat dengan sistem pendaftaran yang seharusnya sudah disederhanakan.

Tahun 2025, pemerintah pusat menggulirkan skema Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) baru untuk jenjang SMP dengan jargon pemangkasan birokrasi. Tapi di lapangan, kenyataannya jauh dari ideal.

SPMB 2025 diklaim sebagai solusi final dari polemik tahunan. Sistem ini mengenalkan empat jalur utama: Domisili, Afirmasi, Prestasi, dan Mutasi.

Namun, meski kebijakan pusat telah bergulir, regulasi di level daerah terkesan berjalan sendiri—bahkan seolah menabrak semangat deregulasi yang digaungkan.

Orang Tua dalam Pusaran Birokrasi

Bayangkan, seorang ibu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Putranya lulus SD dengan nilai memuaskan, dan ingin melanjutkan ke SMP Negeri di Kota Sukabumi.

Opsi ini diambil lantaran dua SMP Negeri yang satu kecamatan dengan domisili siswa tersebut, bila menggunakan jalur domisili terbentur tembok besar jarak.

Peluang untuk bisa masuk atau lolos SMP Negeri di kabupaten menggunakan jalur prestasi raport.

Dengan pilihan di SMP Negeri yang terdekat dari domisili siswa, berjarak sekira 3,7 KM bila diukur menggunakan google maps.

Tapi, niat itu segera diurungkan karena beredar rumor, sekolah yang paling dekat dari domisili siswa memiliki jejak rekam kelam.

Sekolah tersebut dihembuskan rumor tidak sedap, para alumninya akan membabi buta merekrut siswa baru untuk masuk dalam sebuah geng yang ingin melanggengkan tradisi tawuran antarpelajar.

Apakah ini hanya sebatas rumor belaka atau nyata adanya, dari pihak orang tua nyaris tidak pernah mendapatkan sebuah pendampingan atau edukasi terkait hal-hal seperti ini dari pihak manapun.

Selanjutnya, opsi untuk mendaftarkan anaknya ke SMP Negeri di kota akhirnya dipilih dengan menggunakan jalur raport.

Alih-alih ini sudah bisa menjadi jawaban final yang bisa melegakan hati orang tua siswa.

Siswa tersebut harus melengkapi sebuah persyaratan untuk bisa menempuh jalur tersebut. Yakni meminta surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan di kabupaten setempat.

“Katanya semua serba digital dan sederhana. Nyatanya saya masih harus mengurus surat rekomendasi. Anak saya mau sekolah, bukan pindah negara,” kata ibu tersebut dengan nada lelah.

Visi Maju, Implementasi Mandek

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyebut, SPMB 2025 adalah hasil evaluasi dari PPDB tahun-tahun sebelumnya yang kerap diwarnai polemik: zonasi yang tidak adil, manipulasi data kependudukan, hingga sekolah-sekolah “favorit” yang tetap eksklusif secara tidak resmi.

Melalui jalur domisili, sistem diharapkan memprioritaskan anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah.

Jalur afirmasi diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu dan berkebutuhan khusus.

Jalur prestasi memberi ruang bagi siswa dengan capaian akademik dan non-akademik, sedangkan mutasi untuk anak pegawai pemerintah yang berpindah tugas.

Namun, menurut hasil penelusuran di Kabupaten Sukabumi misalnya, masih terjadi ketimpangan pemahaman antara pusat dan daerah.

Penerapan kebijakan lama berupa surat pengantar lintas wilayah, verifikasi manual, hingga pembatasan tidak tertulis bagi siswa luar kota masih berlaku.

Dilema Regulasi: “Satu Negara, Banyak Aturan”

Menurut Dr. Lathifah Rachman, pakar kebijakan publik dari Universitas Negeri Yogyakarta, kegagalan implementasi SPMB bukan karena kebijakan pusat yang buruk, tapi karena “fragmentasi otoritas” di tingkat lokal.

“Sekolah negeri memang dikelola oleh daerah. Tapi jika tidak ada integrasi regulasi antarkabupaten dan kota, maka apa gunanya kebijakan nasional? ” tegas Lathifah.

Ia menyoroti perlunya sistem interoperabilitas antar wilayah administratif. Mengutip dari laman aws.amazon.com, Interoperabilitas adalah kemampuan aplikasi dan sistem untuk secara aman dan otomatis bertukar data tanpa memandang batas-batas geografis, politik, atau organisasi.

Lebih lanjut dikatakan,sSelama masih ada keharusan surat rekomendasi hanya karena beda kode wilayah, maka hak anak atas pendidikan setara hanya akan jadi slogan.

Janji yang Harus Ditepati

SPMB 2025 seharusnya menjadi momentum reformasi sistem penerimaan sekolah yang lebih transparan dan mudah.

Namun apabila birokrasi di tingkat kabupaten/kota tidak ikut berbenah dan tidak berorientasi pada kepentingan siswa, sistem ini hanya akan menjadi tambal sulam dari kegagalan sebelumnya.

Janji pemangkasan birokrasi harus ditepati bukan hanya di pusat, tapi sampai ke ruang-ruang pelayanan pendidikan di pelosok daerah.

Jika tidak, tiap tahun ajaran baru akan tetap menjadi musim gugur harapan bagi jutaan orang tua dan anak-anak Indonesia.

“Kami ingin sekolah, bukan berurusan dengan surat-surat tak berkesudahan, ” keluh seorang Ibu dari calon siswa SMP Negeri di Kabupaten Sukabumi. (*)

Penulis :

Marthin Reinhard

Direktur Utama dan Pemberitaan