
Klik Today || Berbicara terkait profesionalisme wartawan dan media massa di era industri media, selalu menjadi obrolan yang hangat di berbagai kesempatan.
Sebelum lebih lanjut mendefinisikan profesionalisme dalam sebuah profesi, sebaiknya ketahui dulu apa yang dimaksud dengan industri media massa.
Berdasarkan dari sejumlah sumber dan kemudian diintisarikan, industri media massa merupakan industri kreatif yang akan terus berkembang seiring kebutuhan manusia akan pengetahuan, seni dan hiburan.
Di dalamnya terkait berbagai aspek yang termasuk dalam beberapa sub sektor yang disebutkan dalam industri kreatif tersebut.
Melansir dari wikipedia, profesionalisme (profésionalisme) ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.
Profesionalisme berasal dari profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994).
Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional.
Lantas bagaimana arti dari profesionalisme wartawan ?
Secara umum profesionalisme wartawan bisa diartikan representasi ideologi atau nilai-nilai yang dianut dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kewartawanan.
Pers harus menghormati hak asasi setiap orang, maka pers dituntut profesional.
Dalam menjaga kepercayaan publik dan menjaga profesionalisme, wartawan Indonesia harus mentaati kode etik jurnalistik.
Hal itu diungkapkan Dahlan Iskan, seorang tokoh pers dan wartawan senior asal Jawa Timur.
Selanjutnya mengutip dari Antara, terkait wartawan profesional, tokoh pers Indonesia Parni Hadi mengemukakan bahwa wartawan profesional itu harus memenuhi sejumlah unsur pokok.
Antara lain yang bersangkutan memiliki pendidikan dan/atau pengetahuan yang memadai tentang profesi ini.
Alat ukur terbaru terkait profesionalisme yang kaidahnya diterbitkan Dewan Pers, untuk wartawan profesional dewasa ini adalah mereka yang sudah bekerja di media jurnalistik paling singkat dua tahun dan telah lulus uji kompetensi wartawan, baik tingkat Muda, Madya maupun Utama.
Selanjutnya, wartawan profesional dilindungi dan mentaati hukum dan kode etik dalam menjalankan profesinya.
Dalam kaitan ini, Indonesia telah memiliki UU No.40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Kedua perangkat hukum dan etik ini berfungsi sebagai pelindung kemerdekaan pers sekaligus instrumen represif untuk keluarga besar pers yang melakukan pelanggaran.
Itu sebabnya penulis dan pewarta yang bekerja di media yang tak tunduk pada ketentuan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik — contoh medsos — tidak boleh disebut jurnalis.
Oknum yang mengaku jurnalis yang mendatangi atau menelpon narasumber tanpa memperkenalkan diri/identitasnya dan memberi tahu maksud dan tujuannya mewawancarai narasumber, bisa dinilai bukan wartawan profesional.
Jika terjadi delik pers pada oknum-oknum seperti itu, maka konsekwensi hukum yang mereka hadapi adalah UU pidana, bukan UU Pers.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah sebuah peraturan Kepala Daerah bisa serta merta membentuk ekosistem wartawan dan media massa yang profesional ?
Padahal, bila dicermati lebih detail dan mendalam peraturan tersebut bisa jadi hanya mensyaratkan sebuah lembaran-lembaran administratif .
Bila syarat administratif tersebut sudah dirasa lengkap sesuai dengan persyaratan yang diminta, maka wartawan atau media tersebut otomatis akan dinilai memiliki profesionalisme ?
Padahal bila mau dipahami kembali, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seorang profesional yang tidak semata instrumen penilaiannya dari lembaran administratif belaka.
Profesionalisme wartawan akan sangat relevan dengan pentingnya peningkatan kompetensi bagi wartawan itu sendiri.
Menurut Dewan Pers, ada enam manfaat yang bisa diperoleh terkait hal itu.
Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan tempatnya bekerja; Ketiga, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya intelektual; Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan; Keenam, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.
Dalam poin keenam, ini yang semestinya seluruh pihak khususnya pembuat kebijakan di setiap daerah bisa memiliki kepedulian untuk mendudukan wartawan pada posisi strategis dalam industri pers.
Sehingga, berbagai produk perundang-undangan yang dilahirkan dari pemerintah di tingkat daerah tidak saja berkutat pada kelengkapan administratif belaka.
Artinya kelengkapan administrasi bukan instrumen utama untuk menilai wartawan atau media massa sudah bisa dikategorikan “profesional”. (*)
Editor : Reinhard. M